Diujung Gang –1. Pertemuan Pertama

Tidak berbeda dengan rumah lainnya, dua ruangan tanpa banyak furnitur dan satu kamar mandi, ruang tamunya cukup diisi oleh delapan orang yang duduk saling berdekatan di lantai. Tidak banyak hiasan dinding, hanya ada satu kaca menggantung sepi diantara warna putih cat dinding, sudah pudar memang warna cat dinding itu, seperti sudah lama dibiarkan tanpa pembaharuan.

Siang itu matahari terlalu terik. Membuat orang-orang terlalu malas keluar rumah. Aku baru saja sampai didepan gang itu, menengok kanan-kiri takut-takut salah alamat. Dari kejauhan dia sibuk melambaikan tangan mendekat kearahku. Aku masih belum tahu persis apakah dia memang melambaikan tangan kearahku. Jarak diantara kami semakin dekat saja hanya beberapa meter, sekarang aku yakin dia sedang tersenyum kearahku. Aku mencoba memperbaiki kemejaku yang sedikit kusut berusaha menampilkan penampilan yang terbaik dipertemuan pertama kami.

Namanya Nova. Rambutnya panjang terurai, mengenakan pakaian kasual kaos hitam dan celana jins belel biru dongker. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, perawakannya tinggi dan dadanya bidang, tampan. Seperti pria kebanyakan hanya saja cara jalannya dan cara dia menyapa membuatku sadar bahwa ia tidak seperti pria kebanyakan. Belakangan aku tahu bahwa nama Nova itu nama barunya tiga tahun terakhir ini. Nova membawaku menuju ujung gang itu, rumah dengan dua ruangan tanpa banyak furniture itu berpintu hijau, didalam sudah ramai ada beberapa orang sedang asik berbincang, tidak ada yang aku kenal. Berbilang detik saja aku sudah berada dalam ruangan bercat putih dengan satu kaca menggantung sepi didinding aku bergabung dengan mereka.

Tercium aroma rokok didalam ruangan, sepertinya mereka merokok sebelum aku datang beberapa waktu lalu. Aku tersenyum canggung masih asing dengan kondisi sekitar. Ada enam orang didalam ruangan itu, dua orang remaja dan empat orang dewasa lainnya, dengan bergabungnya aku dan Nova semua berjumlah delapan orang. Nova mengenalkan aku pada enam orang lain dalam ruangan itu. Dua remaja yang duduk disebelahku namanya Citra dan Neng Lika. Rambut Citra setelinga sengaja dibaiarkan memanjang, berwarna hitam dengan model belah tengah ia menggunakan kaos yang sama dengan Nova, warnanya hitam. Neng Citra rambutnya pendek, ia selalu tersenyum memperlihatkan giginya memamerkan gincu merah dibibirnya, badannya paling kurus diantara yang lain, wajahnya cukup tampan untuk ukuran pria. Berbeda dengan Nova dan Citra, Neng Lika menggunakan kaos berwarna kuning terang berkerah V dengan tiga kacing warna-warni. Ia terlihat paling ceria diantara yang lain. Usia mereka hanya berjarak enam tahun saja dariku, usia mereka 17 tahun baru lulus SMA tahun ini katanya.

to be continue..

(Darwis) Tere Liye — (Untukmu)

11 Oktober 2013.

Jum’at. Tidak ada yang istimewa dengan jum’at. Seperti biasa, pagi hari menjadi guru bantu di Taman Kanak – kanak, sangat menyenangkan. Serius. Apalagi kalau ada anak macam ‘abang’ yang ternyata banci kamera, hahahha. Kapan – kapan aku cerita tentang guru bantu. Janji 🙂

Seharusnya hari itu pergi ke MCR (Mitra Citra Remaja) dan lanjut perjalanan ke kampus Jatinangor, untuk foto id card panita, salah satunya. Meski akhirnya rencana ke MCR gak jadi, karena urusan waktu. Jujur. Tujuan utama ke kampus Jatinangor untuk cari tahu, sebenernya Tere Liye itu perempuan atau laki – laki? Sumpah. Bahkan sampai sedetik sebelum Tere Liye masuk ke ruang utama auditorium Bale Santika, aku masih beranggapan bahwa dia perempuan berparas cantik, berambut panjang, dan pandai bermain musik (udah semacam Dewi Lestari ya?).

Dan! Ternyata waktu moderator panggil Tere Liye untuk masuk. Wah! Sunggu diluar dugaan. Kaget, serius. Pertama kali liat ‘Oh ini yang namanya Tere Liye’. Aku cuma bisa bergumam dalam hati. Malu juga nanti kalau orang kanan atau kiriku dengar, hahah.

Kupluk Abu. Kaos Panjang Putih. Celana. Kabel Headset (iphone – kayaknya) yang Menjulur. Sendal Jepit. Dan (bagian terpenting) Laki – Laki.

coretan kecil disela - sela talkshow menulis Darwis Tere Liye

coretan kecil disela – sela talkshow menulis Darwis Tere Liye

Kesan pertama : Ya ampun, ni abang satu selengean banget.

Terlepas dari itu semua, baru beberapa detik dia (Tere Liye) duduk, tahu hal pertama yang dilakukan? Menyapa moderator? Salah. Apa? Menyapa audiens? Salah juga. Yang dilaukan adalah marah – marah. Iya marah – marah. Marah sama panitia soal waktu yang molor, dia bilang ‘kalian keberatan gak kalau saya hanya berbicara 18 menit? Itu waktu yang tersisa’ sambil melihat pukul berapa saat itu, ya memang sih waktunya molor. Ya ampun! Belum beres kaget yang pertama karena tau faktanya bahwa dia laki – laki! Sekarang ditambah kaget yang kedua gegara dia marah – marah bahkan beberapa detik saja setelah dia duduk.

Kesan kedua : Gak bisa apa basa – basi dikit?

Waktu dia marah – marah. Aku cuma ketawa – tawa sendiri. Oke, kayaknya aku bakal betah denger dia bicara siang ini, meskipun cuma 18 menit. Malah aku penasaran, apa bener dia akan bicara hanya 18 menit. Hanya 18 menit. Aku tekankan lagi, 18 menit! Catet.

Untuk orang sekaliber Tere Liye. Buku yang dia tulis udah banyak. Karyanya yang diangkat ke layar lebar banyak digandrungi, bahkan layar TV pun dihiasi karyanya melalui sinetron. Aku penasaran, orang seperti apa dia. Orang seperti apa Tere Liye. Oh ya, sebelumnya aku mau jujur, aku belum pernah baca karya Tere Liye. Belum pernah. Sekali lagi aku bilang, aku belum pernah baca buku Tere Liye. Belum pernah. Aneh ya? Belum pernah satu kali pun baca apa yang ditulisnya tapi sekarang mau merepotkan diri jauh – jauh dari bandung ke Jatinangor untuk denger orang asing marah – marah dan bicara, aneh? Ya gak apa lah, toh akhirnya terbayar juga dengan segala ke’aneh’an yang ada sama Tere Liye. Lebih enak dibilang unik kali ya dari pada aneh, hahaha. Ya anggap lah mereka (kedua kata) itu sinonim 😀

Aku ingin tau lebih jauh tentang dia. Di toko buku banyak novel – novel yang di cover depannya jelas – jelas tertulis TERE LIYE. Penasaran juga apa artinya. Apalagi sama yang judulnya Negeri Para Bedebah. Aku ingin tahu, apa yang nulis buku ini juga seorang bedebah?hahaha.

Pembukaan sesi ini tidak berlama – lama, diawali oleh cerita tentang persahabatan. Antara pohon kelapa, kura – kura, dan burung. Tidak perlu merasa aneh dengan tiga sekawan ini, ini cuma cerita fabel penuh fiksi yang sarat nilai. Dari sini bang Darwis (begitu cara Tere Liye disapa) menyatakan bahwa dia pecinta fiksi, jadi tidak perlu teralu serius dengan apa yang diungkapkannya. Sayangnya yang serius itu lebih seru bang! Hahahahah.

Bagi bang Darwis :

Menulis seperti sebatang pohon kelapa di tepi pantai. Ya memang. Pohon kelapa tidak seperti burung yang terbang melintas menikmati keindahan panorama antar benua melalui langit dengan sayapnya. Juga, bukan seperti kura – kura yang menyelam menikmati indahnya taman laut antar samudera dengan berenangnya. Sebatang pohon hanya diam, berdiri dengan tegak sehari –hari hanya menikmati indahnya sunrise dan sunset itu pun jika awan sedan bersahabat tidak menghalangi.

Tapi, sebatang pohon kelapa yang membiarkan jatuh buahnya, membiarkan buahnya diterpa ombak, membiarkan buahnya melintasi samudera dan antar benua, dan bermuara disembarang pesisir pantai dan menjadi awal bagi pohon – pohon kelapa lain di setiap pertemuan antara daratan dan lautan.

Menulis seperti sebatang pohon kelapa di pesisir pantai yang membawa kebaikan dengan tetap diam di tempat.

Seselesainya mendengar bang Darwis berbagi aku jadi tahu modal menulis yang perlu dilakukan adalah mencoba menulis 🙂

Bang Darwis berbagi, dan melalui tulisan ini aku juga mau berbagi apa yang aku dapat dari dia. Mau jadi penulis yang baik? Mudah aja kok.

Didasari oleh alasan apa yang membuat mengapa kita harus menulis. Kenapa aku harus nulis? Alasan menulis akan menjadi penting untuk kedepannya.

Pertama. Topik tulisan bisa apa saja, penulis yang baik bisa menemukan sudut pandang yang spesial (atas tulisan yang dia tulis). Cukup dengan memikirkan apa yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Ya, aku paham. Memang berpikir spesial tidak mudah, maka dari itu perlu latihan (tulisan ini salah satu proses latihan). Perlu dicatat bahwa berpikir spesial tidak perlu dan tidak harus megah atau besar cukup dengan sederahan dan apa adanya.

Kedua. Menulis itu membutuhkan amunisi. Amunisi disini bukan semacam peluru dengan kecepatan tinggi kok. Amunisi ini sangat mudah didapat. Cukup dengan mencoba lebih banyak untuk mengamati, lebih banyak untuk membaca, lebih banyak untuk mendengar, lebih banyak untuk memperhatikan, juga lebih banyak untuk merekonstruksi.

Ketiga. Ala karena terbiasa. Sebenarnya aku masih belum terlalu paham dengan penggunaan kata ‘ala’ bang Darwis di kalimat ini. Penjelasannya menulis adaah pekerjaan yang membiasakan diri. Menulis perlu didasari oleh rasa cinta yang dalam. Romantis ya, bahkan menulis pun perlu rasa cinta, hihihi.

Keempat. Gaya bahasa adalah kebiasaan, memulai kalimat pertama adalah hal mudah, menyelesaikannya lebih gampang lagi. Nah ini nih, bener – bener emang. Oke, masalah gaya bahasa itu masalah personal, setiap dari kita punya gaya dan cara masing – masing dalam berbahasa. Aku setuju dengan itu. Sangat setuju.

Tapi masalah bahwa ‘memulai kalimat pertama adalah hal mudah’. Ya Tuhan, bang! Sungguh kadang ketika aku bingung harus menulis darimana, akhirnya aku meninggalkan kegiatan menulis. Aku tahu ini salah. Ya, ya baiklah seharusnya aku biarkan saja kata apapun menjadi kalimat pertamaku, tidak perlu kalimat yang canggih, cukup dengan kalimat yang sederhana dan jujur.

Lagi, ada masalah lagi di poin keempat. Bang Darwis bilang bahwa ‘menyelesaikannya lebih gampang lagi’. Ingin sekali rasanya bilang, ‘Hey bang! Abang sudah punya banyak buku yang dicetak beberapa diantaranya bahkan masuk ke layar lebar dan sinetron, bahkan ada yang sudah dicetak  berkali – kali. Lah aku? Tulisan ku posting di blog saja rasanya sudah cukup hebat’. Sebelum semakin lama aku merutuk dalam hati bang Darwis dengan hati senang berbagi penjelasan tentang hal ini.

Berhentilah berpikir serius untuk mengakhiri tulisan yang sudah dimulai. Kalau bingung tulisan gak selesai, bingung bagaimana mengakhirinya, mudah saja tinggal ‘enter enter enter dan tuliskan kata TAMAT’ Tada! Selesai sudah tulisan yang dibuat. Yaaa, bener juga sih hahaha. Sekali lagi aku ingatkan, bang Darwis ini pecinta fiksi, jadi kalau ditanya ‘kok gitu bang?’ paling jawabannya ‘yaa, kenapa memang? Berhentilah berpikir serius untuk mengakhiri tulisan’.

Lima. Mood jelek adalah anugerah. Mood yang selalu jelek adalah masalah. Inget kenapa bang Darwis bilang kita harus punya alasan untuk menulis? Nah, ini alasalannya ketika datang mood yang jelek maka panggil alasan kita menulis, jadikan itu motivasi terdalam kita untuk tetap menulis. Yakinlah bahwa semua orang bisa mendapatkan pertolongan yang menakjubkan dari hati mereka sendiri. Ketuk hatimu tiga kali dan temukan motivasi terdalammu dalam hati.

Nah, itu tadi yang aku dapat selama duduk di kursi Bale Santika dan tahu tidak? Ternyata perihal 18 menit itu hanya gertakan, hihih. Bang Darwis terlalu baik hati melihat kami yang antusias mendengar, tidak tega sepertinya melihat wajah – wajah memelas kami jika hanya 18 menit berbicara.

Sebelum selesai bang Darwis masih menyempatkan diri berbagi dengan kami. Ditekankan lagi olehnya bahwa menjadi pemerhati yang baik adalah kunci untuk bertumbuh dan menjadi besar. Aku bisa paham ini setelah selesai membaca buku Negeri Pada Bedebah. Woah! Sungguh luar biasa isinya! Kau tahu? tidak sampai satu hari aku melumat novel itu, dan tahu tidak? Ratusan halaman dalam buku itu hanya menceritakan 4 hari dari kehidupan Thomas. Empat hari! Ya Tuhan, empat hari! Jum’at di London, Sabtu pagi buta dikediaman om Liem, Sabtu siang di Jogjakarta, Minggu pagi di Jakarta, Minggu sore di Denpassar, Bali, bahkan disela – sela hiruk pikuknya itu Thomas masih sempat berkeliaran ke Jatiluhur dan kepulauan Seribu. Sungguh cemerlang Darwis Tere Liye. Satu hal, gaya bahasanya membuat aku ketagihan, hahaha. Sepertinya aku ingin membahas buku Negeri Pada Bedabah, tunggu ya! Aku akan tulis tentang novel pertama Tere Liye yang aku baca. Pilihan yang tepat bukan? 🙂

Dan ternyata! Dibalik semua kesan yang ditampilkan bang Darwis dengan segala ‘keselengeannya’, ‘tidak suka basa – basinya’, dan dengan segala ‘keunikannya’, aku belajar satu hal, karena itulah dia menjadi besar. Karena dia selalu tetap menjadi dia dimana pun berada, itu yang membuat dia kokoh berdiri diatas kakinya sendiri, dan diakui dengan tetap menjadi dirinya baik oleh kawan ataupun lawan. Gak nyesel deh jauh – jauh datang ke Bale Santika.

Ohya ada lagi!

Bang Darwis mewanti – wanti kami, yang duduk di bangku audiens. Dia bilang ‘kalian tahu tidak hobi yang menyenangkan itu apa?’. Ya bang, tentu saja kami tahu, hobi yang menyenangkan itu hobi yang bisa menghasilkan uang. Sekenaku jawab dalam hati. Ternyata bukan kearah itu, hahha. Bang Darwis bilang, hobi yang menyenangkan itu ada bukan karena dipaksa atau terpaksa. Ketika kau bilang dengan lugas ‘Hobiku menulis’ coba tengok lagi, jika ketika kamu menulis itu terpaksa atau dipaksa maka Bang Darwis bilang ‘Hey, nampaknya menulis bukan hobi yang menyenangkan untukmu’. Nah tuh, jadi hobi yang menyenangkan untukmu apa?

Ada pesan tambahan lagi, kalau menulis Mr. S (baca : Skripsi) memang terkadang ada unsur dipaksa dan terpaksa,hahah. Tapi ya sudah, begitulah cara skripsi tetap harus diselesaikan meskipun kadang dipaksa dan terpaksa.

Adios! Semoga ada manfaat dalam tulisan ini. Kutipan terakhir dari Bang Darwis ‘menulis adalah persisi seperti menebar kebaikan!’ 🙂