Diujung Gang -1. Pertemuan Pertama
Aku bahkan tidak tahu, bahwa disana ada orang lain yang juga memperhatikan ku. Ya bagaimana pula menurutmu, sudah hampir jam 9 malam saat itu, kesedaranku sudah hampir terkuras, menyisakan sedikit saja kesiagaan, saat kejadian menyeramkan itu terjadi secepat kilat tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Mungkin mudah saja bagiku jika saja saat itu aku tidak lelah. Ah, apa pula untungnya aku mengeluh sekarang, hanya buang energi saja. Hanya sepersekian detik semua kejadian tidak menyenangkan itu terjadi, teriakan saling susul menyusul menggema dilangit malam.
Aku masih belum mengerti, belum sepenuhnya membaca keadaan, ternyata wilayah kami telah dikepung oleh para remaja tanggung yang mengamuk, membawa senjata tajam dengan mata merah beringas. Hati mereka penuh dendam, amarah tak termaafkan. Hari ini persis satu tahun dari kejadian tawuran remaja tanggung antar kampung itu terjadi.
Namaku Romi, aku masih berumur 8 tahun saat kejadian mengerikan itu terjadi. Untuk anak laki-laki usia 8 tahun aku termasuk anak yang cekatan dibanding anak seumuran ku. Malam itu, entah sudah berapa banyak letusan senapan angin mengudara dan pedang-pedang panjang saling berdentang, yang tidak punya senjata pun tidak mau kalah berjibaku saling baku hantam membela masing-masing kampung, bertarung saling mempertahankan harga diri.Padahal menjaga harga diri tidak perlu dengan baku hantam dan senjata tajam. Anehnya kenapa banyak orang yang setuju bahwa mempertahankan harga diri harus dengan baku hantam dan senjata tajam.
Malam itu aku sedang duduk didepan halaman rumah, rumah kami tidak besar tapi asri Bunda senang sekali bercocok tanam, rasanya semua benih yang kata orang bagus Bunda tanam dihalaman depan rumah kami. Aku menunggu kedatangan Bapak yang dinas dari luar kota sebenarnya Bunda sudah berulang kali menyuruhku masuk, menunggu didalam rumah. Tapi aku bersikukuh menunggu Bapak di halaman rumah kami, Bapak janji membawa mainan untukku sepulang dinas. Bunda bilang, kalau sampai jam 9 Bapak belum sampai aku harus masuk rumah, menunggu didalam saja.
Pukul 8.51 Bapak belum juga pulang, aku menunggu Bapak sambil mengantuk tadi siang seru sekali mengejar layang-layang putus, biasanya sampai jam 10 malam pun aku masih menunggu Bapak, tapi entah malam ini rasanya lelah sekali, mungkin karena siang tadi aku mengejar delapan layangan putus.
Bapak kerja sebagai supir di kantor. Kantor Bapak bukan kantor besar, hanya kantor Notaris. Setelah Bapak berhenti jadi satpam disalah satu Bank Daerah Bapak diajak Mang Dullah belajar mengendarai mobil, lumayan barang kali esok-lusa ada yang butuh supir kata Mang Dullah.
bersambung