Anak Perempuan dan Wanita Tangguh

“Karena setiap anak perempuan diciptakan untuk kemudian menjadi seorang wanita yang tangguh”

Siluet-Hijab

sumber : google.com

Aku tahu, tidak mudah menjadi seorang anak perempuan pun menjadi seorang anak laki-laki. Tapi yang aku tahu, selalu ada saja ada hal yang menjadi bahan per-galau-an bagi anak perempuan. Mungkin saat masih kanak-kanak, semua seperti biasa-biasa saja. Semua terasa sangat menyenangkan tidak ada yang dipusingkan sampai suatu ketika bertumbuh menjadi seorang remaja tanggung dengan segala kerisauan hati, menjadi super cute, bermanja-manja untuk menarik perhatian anak laki-laki, gusar karena rambut yang susah diatur, jerawat yang muncul pada waktu dan tempat  yang sembarang, badan yang tidak seperti para model, atau muram karena anak laki-laki yang datang hanya untuk memberi harapan palsu, dan hal-hal remeh temeh lainnya.

Kawan, yang sekarang aku tahu menjadi seorang wanita bukan tentang segala sifat remaja tanggung, bermanja-manja, berpose cantik, memajang segala keunggulan yang sifatnya artifisial, bukan. Menjadi wanita adalah menjadi seseorang yang tangguh, yang bisa diandalkan dan mandiri. Dinanti untuk menjadi seseoarang yang bisa mendamaikan hati. Tidak mudah memang, sungguh tidak mudah. Tapi aku yakin, segalanya bisa dilakukan jika dilandaskan dengan kesungguhan hati.

Diujung Gang –2. Tawuran Besar

Diujung Gang -1. Pertemuan Pertama 

Aku bahkan tidak tahu, bahwa disana ada orang lain yang juga memperhatikan ku. Ya bagaimana pula menurutmu, sudah hampir jam 9 malam saat itu, kesedaranku sudah hampir terkuras, menyisakan sedikit saja kesiagaan, saat kejadian menyeramkan itu terjadi secepat kilat tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Mungkin mudah saja bagiku jika saja saat itu aku tidak lelah. Ah, apa pula untungnya aku mengeluh sekarang, hanya buang energi saja. Hanya sepersekian detik semua kejadian tidak menyenangkan itu terjadi, teriakan saling susul menyusul menggema dilangit malam.

Aku masih belum mengerti, belum sepenuhnya membaca keadaan, ternyata wilayah kami telah dikepung oleh para remaja tanggung yang mengamuk, membawa senjata tajam dengan mata merah beringas. Hati mereka penuh dendam, amarah tak termaafkan. Hari ini persis satu tahun dari kejadian tawuran remaja tanggung antar kampung itu terjadi.

Namaku Romi, aku masih berumur 8 tahun saat kejadian mengerikan itu terjadi. Untuk anak laki-laki usia 8 tahun aku termasuk anak yang cekatan dibanding anak seumuran ku. Malam itu, entah sudah berapa banyak letusan senapan angin mengudara dan pedang-pedang panjang saling berdentang, yang tidak punya senjata pun tidak mau kalah berjibaku saling baku hantam membela masing-masing kampung, bertarung saling mempertahankan harga diri.Padahal menjaga harga diri tidak perlu dengan baku hantam dan senjata tajam. Anehnya kenapa banyak orang yang setuju bahwa mempertahankan harga diri harus dengan baku hantam dan senjata tajam.

Malam itu aku sedang duduk didepan halaman rumah, rumah kami tidak besar tapi asri Bunda senang sekali bercocok tanam, rasanya semua benih yang kata orang bagus Bunda tanam dihalaman depan rumah kami. Aku menunggu kedatangan Bapak yang dinas dari luar kota sebenarnya Bunda sudah berulang kali menyuruhku masuk, menunggu didalam rumah. Tapi aku bersikukuh menunggu Bapak di halaman rumah kami, Bapak janji membawa mainan untukku sepulang dinas. Bunda bilang, kalau sampai jam 9 Bapak belum sampai aku harus masuk rumah, menunggu didalam saja.

Pukul 8.51 Bapak belum juga pulang, aku menunggu Bapak sambil mengantuk tadi siang seru sekali mengejar layang-layang putus, biasanya sampai jam 10 malam pun aku masih menunggu Bapak, tapi entah malam ini rasanya lelah sekali, mungkin karena siang tadi aku mengejar delapan layangan putus.

Bapak kerja sebagai supir di kantor. Kantor Bapak bukan kantor besar, hanya kantor Notaris. Setelah Bapak berhenti jadi satpam disalah satu Bank Daerah Bapak diajak Mang Dullah belajar mengendarai mobil, lumayan barang kali esok-lusa ada yang butuh supir kata Mang Dullah.

bersambung

Titik – Titik Hidup

Berbicara tentang titik yang diingat adalah pelajaran matematika waktu SMA dulu, ya kan? apapun itu matematika atau fisika, mungkin bahasan dalam perlajaran matematika tentang gradien, garis, titik singgung dan lain sebagainya.

Titik. Titik itu awal. Seorang seniman, ketika mau mulai membuat suatu lukisan dimulai dari titik. Seorang juru gambar juga memulai gambarnya dengan titik. Terlalu banyak titik dijadikan awal suatu kisah. Juga tentang kisah cerita manusia. Aku, Kamu, Dia, Mereka, Kami, dan Kita semuanya dimuali dari titik.

Cerita manusia, dibangun dari berbagai titik – titik kehidupan yang secara sadar dan tidak sadar saling terhubung membentuk satu garis yang kadang lurus, berkelok, turun, naik, berliku, hingga akhirnya menjadi satu kesatuan yang kongruen, utuh dan tidak berjeda. Kita, manusia, sebagai lakon utama dalam hidup selalu menyambung titik – titik itu. Bahkan terkadang kita dipaksa menyambungkan antar titik ditengah kebingungan. Kebingungan karena harus menyambungkan titik yang satu dengan titik yang lain.

Ayolah, perhitungan matematika tentang titik singgung bahkan tak bisa membantu. Apalagi ketika berurusan tentang hati, mana ada rumus matematika yang bisa melogikakan titik – titik hati? Apa ada rumus yang memecahkan urusan ketika kita bertemu dengan titik rindu maka diakarkan, dibagi dengan tujuh, kemudian di tambah dengan bla bla bla dan diakar kuadratkan dengan bla bla bla sama dengan terobati rindu. Mana ada! Jika memang ada, seberapa valid perhitungan logika matematikamu itu menjawab soal hati?

Juga ketika kita dipaksa menyambung antar titik saat dirundung galau dalam memutuskan mana yang akan kita pilih sebagai keputusan tepat dalam kehidupan. Atau mungkin ketika rasa menguap jadi kasih, yang tetap mengharuskan kita menggambar antar titik menjadi satu garis kesatuan yang utuh tanpa jeda.

Ah, memang tidak mudah berbicara tentang titik, apalagi tentang titik – titik hidup.

Berbicara tentang titik hidup, yang hanya dengan berani maka semua titik itu dapat tersambung. Ayolah, jika memang kita tidak berani menyambungkan titik – titik hidup? Bagaimana bisa semua titik itu menjadi sebuah cerita? Semuanya, hanya akan menjadi titik – titik tak bermakna.

Teringat bincang singkat dengan senior, yang sudah banyak berpengalaman, berpengalaman dalam menyambungkan berbagai titik hidup hingga menjadi garis – garis nyata dalam jejak langkahnya. Pertanyaanya sore itu, sederhana sekali, selepas beliau mengisi salah satu materi pelatihan yang kami adakan.

“FR, kamu kos?”

“Gak, kang. Saya pulang pergi Bandung – Jatinangor” ada senyum diakhir kalimat saya.

“Wah, dimana emang rumahmu?” tanyanya lagi.

“Di daerah Kopo kang, arah Soreang – Ciwidey” kali ini agak nyengir diakhir kalimat, berharap beliau tau dimana daerah tempat tinggal saya, kalau gak. Gak perlu saya jelasin lebih lanjut kan ya kang?

“Pulang pergi kampus Jatinangor – Bandung itu, perjuangan. Apalagi, kamu ke kampus bukan cuma buat kuliah doang kan? Ada kegiatan lain yang juga kamu harus selesaikan. Dulu juga saya gitu, pulang pergi Jatinangor – Dipatiukur”

Perjuangan. Seketika itu, saya jadi kebayang, gimana sibuknya beliau berorganisasi, berkegiatan, ngisi banyak acara, jadi narasumber, ngasih pelatihan, jadi MC, jadi moderator, dan segudang kegiatan lainnya dengan keterbatasan waktu. Berapa banyak titik yang disambungkan oleh beliau dalam setiap harinya? Dengan berbagai keterbatasan waktu ditambah dengan segala tugas – tugas kuliah. Ah, tapi kan akang laki – laki. Saya perempuan, banyak keterbatasan. Malah muncul pembelaan dalam benak saya.

“Iya, kang. Perjuangan” senyum simpul menghiasi, setelah pembelaan saya rangkum dalam pikiran.

“Perjuangannya, panjang. Apalagi kamu perempuan. Sampai rumah pasti banyak juga kan yang dikerjain. Peran sebagai anak, punya adik? Nah, peran sebagai kakak. Juga peran sebagai anggota masyarakat, bertetangga”

Anggukkan saya cukup dalam diakhir kalimatnya. Ya, benar.

Pembelaan yang tadi ada dibenak saya, tiba – tiba menguap begitu saja. Tergambar dengan perjalan panjang selama masa kuliah, dari tingkat satu sampai saat ini, tingkat tujuh. Terlalu banyak yang dijalani, banyak sekali. Bahkan mungkin banyak ingatan bermakna yang terselip disela – sela gyrus dan sulcus di frontal cortex, sampai akhirnya terlupakan, entahlah, teralu banyak titik yang harus diingat.

Ah, jadi malu sama diri sendiri. Yang masih sering mengeluh dengan segala keterbatasan. Padahal masih banyak titik yang menunggu untuk disentuh.

Rabb, maafkan hati yang masih banyak mengeluh. Padahal aku paham, tidak ada kuasa diatas kuasa-Mu. Maka, biarkan aku meminjam sedikit saja sifat berani dari sifat Maha-Mu, hingga titik – titik hidup ini dapat saling tersambung menjadi satu garis yang utuh tanpa jeda, menjadi garis – garis yang membentuk gambar tentang kisah cerita anak adam menuju pintu syurga-Mu. Dengan segala ridha-Mu tentunya. Amin. 

Bukan esklusif, tapi eksekutif :)

Apa yang terpikir tentang kata eksekutif? Bukan, bukan. Bukan esklusif, tapi eksekutif 🙂

Hmm, kalau mau merajuk pada kamus Bahasa Indonesia, eksekutif itu artinya berkenaan dengan pengurusan (pengelolaan, pemerintahan) atau penyelenggaraan sesuatu. Dengan kata lain, Badan Eksekutif Mahasiswa merupakan suatu badan pengurusan atau penyelenggaraan yang berkaitan dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan.

Berbicara tentang Badan Eksekutif Mahasiswa, selalu saja ada hal menarik untuk diperbincangkan, misalnya saja tentang bagaimana sebenarnya keberadaan BEM ditengah mahasiswa. Seberapa signifikan sebenarnya keberadaan BEM ditengah masyakarat kampus?

Ada yang menarik dengan pertanyaan Seberapa signifikan sebenarnya keberadaan BEM ditengah masyakarat kampus? Mungkin kadang perntanyaan serupa dikemas dengan kalimat yang lain, seperti Ada gak ada BEM sama aja, pernah bertemu dengan kondisi yang demikian? Saya pernah, bahkan ada beberapa yang menujukkan perntayaan ini pada saya. Dan saya pun berpikir untuk menjawab pertanyaan ini.

Teringat cerita tadi pagi, datang ke kampus sebelum pukul 7, mengingat memang hari ini masuk pagi. Seperti sudah terset, masuk gerlam – nunggu angkot gratis – antri – naik angkot -muter-muter – turun depan kampus Fapsi, gak terpikir untuk naik ojek selama angkot masih gratis. Gak kepikir untuk naik ojek, ya selama ada angkot yang gratis kenapa harus naik ojek?

Angkot Gratis. Awalnya angkot gratis ini gak gratis! Cerita awalnya angkot ini punya tarif, sama aja kayak kita naik angkutan umum diluar sana, ada tarifnya. Setelah melalui advokasi dan berbagai perbincangan dengan mengedepankan kesejahteraan mahasiswa Unpad akhirnya BEM Kema Unpad berhasil membuat pihak Rektorat membuat kebijakan Angkot Gratis 🙂

Akhirnya Angkot Gratis!

Bukan cuma tentang angkot gratis, sekarang jam operasional angkot telur asin, itu loh yang warnanya biru, iya yang jalur rektorat bertmbah kan ya? Memang hanya sampai jam 5 sore, tapi lumayan kan jadi nambah satu jam J. Ini pun berkat teman – teman BEM Kema yang akhirnya berhasil membuat rektorat membuat kebijakan tersebut, dengan banyak berbincang juga dengan bapak tukang ojek.

Sedikit banyak keberadaan lembaga eksekutif memberikan manfaat untuk kita ya 🙂

Ah, ada lagi. Berbicara tentang kebermanfaatan BEM Kema Unpad, pernah denger les bahasa yang digawangi teman – teman APM dari BEM? Iya, itu yang ada kursus bahasa gratis! Yang jam belajarnya kadang sore, pengajarnya dari teman – teman FIB, melalui kegiatan ini sedikit banyak membantu kita untuk bisa belajar.

Ternyata, sedikit banyak BEM memberikan kebermanfaatan yang langsung terasa sama kita, ada lagi yang lain.

Tentang kamar mandi di UKM Barat, sekarang ada kamar mandi kan di UKM Barat? Nah itu juga dari usaha teman – teman BEM Kema untuk kesejahteraan mahasiswa.

Sebenanrnya, masih banyak lagi seperti Advokasi yang dilakukan teman – teman Akpro untuk membantu mahasiswa yang memiliki hambatan terkait biaya kuliah. Atau bahkan seperti urusan lain, RadioMu, yang udah mulai siaran online! 🙂

Lainnya, pernah denger Beasiswa Krakatau? Itu loh, beasiswa yang dicanangkan sama temen-temen Akpro BEM Kema, untuk membantu teman – teman yang membutuhkan. Teman – teman BEM Kema akhirnya berhasil mencari sponsor dan lainnya untuk mengadakan beasiswa ini, karena ada kebutuhan bahwa masih banyak mahasiswa yang butuh bantuan.

Oke, lainnya lagi Taman Ilmu, anak gaul Unpad pasti tau Taman Ilmu, gimana enggak ngajar buat adek – adek kita yang membutuhkan, sedikit banyak mereka terbantu, terlihat dari tawa riang mereka waktu nyayiin OST Taman Ilmu, tau kan lagunya? kalau gak tau searching di Youtube, itu digawangi teman – teman PKM, dan dijalankan oleh teman – teman mahasiswa yang tergabung di Taman Ilmu, selalu ada keterlibatan mahasiswa dalam setiap langkah lembaga eksekutif 🙂

Masih banyak lagi, belum kalau kita berbicara tentang pergerakkan mahasiswa. Wah, ya gak akan beres sehari deh.

Merespon pernyataan ada gak ada BEM sama aja!

Udah kebayang? Contoh kecilnya, kecil aja. Kalau BEM gak ada, mungkin sampai saat ini angkot gak gratis masih bayar, kalau BEM gak ada mungkin saat ini yang pulang jam 5 gak bisa sedikit istirahat kaki pulang pake angkot, mungkin kalau gaka da BEM gak ada yang bisa les bahasa gratis, mungkin kalau gak ada BEM gak ada kamar mandi di UKM Barat, mungkin kalau gak ada BEM akan sulit meng-advokasi teman – teman yang butuh bantuan lewat segala bentuk advokasi, juga Beasiswa Krakatau.

Gak perlu ditegaskan secara jelas dan rinci, bahwa selalu akan ada perbedaan dengan ada gak ada nya BEM! Mungkin semua kegiatan mahasiswa akan tetap berjalan tanpa adanya BEM, tapi bukankah selalu akan membutuhkan adanya lembaga eksekutif untuk dapat mengeksekusi dan melaksanakan serta memenuhi berbagai kebutuhan?

Bukan tentang siapa yang harus manjadi seorang eksekutor, siapa saja bisa, semua orang bisa, asal ada kemauan dan kemampuan, bukankah setiap dari kita –mahasiswa- pasti punya harapan, cita-cita, dan keinginan yang manis ya baik untuk diri sendiri ataupuan lingkungan?

Bukan ekslusif tapi eksekutif!

Masih juga gak mudeng relevansi lembaga eksekutif sama mahasiswa?

Mahasiswa, kita, berhak memilih siapa yang pantas ada di kursi eksekutif, sebagai penggerak perubahan. Kalau kita masih merasa gak perlu adanya lembaga eksekutif ya kalau gitu gak perlu ada penggerak perubahan, gak perlu ada yang menyuarakan kebutuhan – kebutuhan masyarakat, gak perlu ada, ngapain toh ada gak ada sama aja. Gak perlu ada BEM! Tapi yang menjadi pertanyaan mendasar apa bener sama aja? Atau kita yang bebel gak mau tau dan gak mau cari atau sebenernya ada atau gak?

Gak usah pura – pura gak liat atau gak denger, banyak dari kita yang terbantu dengan adanya lembaga eksekutif, besar atau kecil, contoh kecil Prabu! Lewat Prabu kita bisa negceng akang – akang komdis yang galak atau ngeceng teteh PK yang cantik? Lewat Forsi, kita jadi tau siapa aja pria – pria macho di Unpad, hahaha. Ya walaupun salah fokus sih, tapi tetep ada manfaat kan ya? 🙂

Ayolah, ini bukan tentang siapa yang menduduki kursi eksekutif tapi tentang bagaimana perubahan itu bergerak! Yuk, bareng – bareng buat perubahan yang bergerak kearah lebih baik lagi dengan membantu mewujudkan mimpi!

ps : tulisan ini didasari oleh pengetahuan dan perasaan pure dari pikiran saya, kalau ada yang tidak sesuai mohon dikoreksi, mari kita benahi bersama-sama 🙂

Kata Cinta

Lagi, Awan menatap dengan penuh rasa ingin tahu dibalik Bulan yang bersinar malu – malu.

“Lan, kamu tau berapa banyak orang yang menatap langit malam berharap pujuaan hati juga menatap langit yang sama sehingga segala ungkapan rasa bisa tersampaikan?” tak pernah lepas dari jahilnya Awan mulai membrondongi Bulan dengan pertanyaan retorika.

“Apa maksudmu Wan?” Seperti biasa, Bulan dengan polosnya menjawab seolah tak tahu arah pembicaraan malam ini.

“Iya, kau tahu lah. Masalah biasa, mereka -manusia-, selalu saja gusar dengan masalah hati” Awan mulai menjawab sekenanya, seperti biasa.

“Masalah hati?” Lagi – lagi Bulan hanya kembali bertanya.

“Iya, kau macam tak tahu saja, itu loh. Tentang Cinta” Awan mulai tak peduli dengan ekspresi Bulan yang mulai tak paham, benderangnya hampir menguasai separuh langit malam.

“Maksudmu? Cinta yang itu Wan? yang selalu membuat mereka -manusia, tersenyum, tertawa, menangis, bahkan marah disaat yang bersamaan?” Bulan mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini.

“Nah, iya itu maksudku. Kau tahu tidak berapa banyak anak adam dalam satu hari merasakan bahagia karena cinta, sedih karena cinta, marah karena cinta?” Mulai. Awan mulai bertanya segala tentang Cinta.

“Ah! apa peduli ku pada Cinta, apa arti Cinta saja aku tak paham. Sudahlah, tak usah banyak berbahasa tentang Cinta” Bulan mulai benderang, menerangi hamparan langit. Menerima cahaya dari Matahari dan memberi cahaya melalui pantulannya, diterima Bumi juga Bintang, Awan yang selalu menjadi kanvas setia untuk para benda langit.

“Sederhana saja. Cinta seperti kita saat ini, malam ini. Cinta tentang Perbuatan, bukan tentang Perkataan. Mudahnya prinsip menerima dan memberi. Seperti benderang yang kau pancarkan, kau terima cahaya dari tulus Matahari kan? Lalu, kamu pantulkan dengan ikhlas keseluruh bagian Tata Surya yang gelap agar mereka  bisa saling bertatap. Begitu juga, kau tak pernah berkeberatan jika para Bintang meminjam cahayamu yang juga dipantulkan oleh Matahari agar Langit tak pernah sepi selalu benderang. Seperti itulah Cinta.” Seperti biasanya, Awan selalu bisa menjabarkannya dengan begitu sederhana.

Seperti juga kata Sayang yang tak pernah bisa dijelaskan oleh ribuan untaian huruf, bahkan oleh pujangga yang paling digandrungi para pecinta roman diseluruh penjuru dunia.

Berlaku pula pada penjelasan kata Cinta, yang lagi – lagi selalu menjadi sorotan ribuan lampu halogen di pentas raya. Apalah penjelasan sebuah kata dengan unataian kata yang lebih panjang. Cinta bukan tentang kata, bukan tentang arti, juga bukan tentang bahasa, atau bukan tentang segala yang disebut dalam kesusastraan dan juga bukan segala hal yang berbau linguistik.

Cinta adalah tentang apa yang dikerjakan, apa yang dirasakan, apa yang diberikan, apa yang diterima. Membicarakan tentang cinta seperti membicarakan hukum memberi – menerima. Cinta adalah tentang apa yang kita kerjakan dan tunjukkan. Setidaknya cinta tak akan pernah bisa dikatakan Cinta jika hanya selesai pada urusan bahasa.

Rosane (1)

Ya. Aku memang sengaja. Sengaja menghindarimu. Biar saja orang berkata apa. Aku tak suka padamu. Tak suka cara mu berbicara padaku, yang selalu ada nada keangkuhan dalam setiap pilihan katamu. Aku tak suka caramu menatapku, seolah aku adalah tertuduh atas segala yang terjadi padamu.  Sungguh, aku lelah. Aku lelah berada di bayang – bayang hitam setiap langkahmu. Bisakah kamu membiarkan aku menjadi aku yang seutuhnya aku?

Kini pikiran Rosane mulai saling tuduh antara tetap berada di bangunan itu atau dia memilih untuk terbang ke belahan dunia lain agar dapat mencapai mimpinya. Baiklah. Pikirnya mulai menjernih. Aku memang tidak seperti anaknya yang lain, aku bilang ANAK. Jadi, ya wajar saja jika aku harus melakukan hampir seluruh, oh bukan, tapi seluruh pekerjaan yang ada di rumah ini. 

Rosane adalah wanita 19 tahun dengan segala kekhasannya, kulitnya yang hitam manis, rambutnya yang panjang bergelombang, badanya cukup atletis untuk wanita  seumurannya, dan tingginya yang sesuai dengan berat badanya. Tidak ada yang membuat dirinya menjadi tidak menyenangkan, bahkan hanya untuk sekedar menjadi teman, selain kepribadiannya yang sedikit urakan dan cuek. Itu bukan salahnya, ia menjadi begitu setelah ayahnya pergi, entah kemana. Diasuh oleh wanita membuatnya harus dapat bertahan dalam segala kondisi, ditambah lagi ibunya punya hobi mengumpat jika sedang tak ada uang. Maklumlah, wanita lulusan sekolah dasar tak bisa bersaing di kota besar seperti ini, kecuali nekat. Tumbuh bersama wanita selama 18 tahun,  membuatnya yakin bahwa pria hanya terbagi dalam dua kelompok. Jika dia bukan kelompok pecundang berarti dia kelompok pemuja wanita. Ibunya meninggal setelah mengalami batuk yang tak henti-henti dan mengeluarkan darah disetiap akhir dari batuknya itu. Dan, kini Rosane tinggal di rumah kerabat jauhnya, untuk menumpang hidup.

Enam bulan, bukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan rumah baru. Enam bulan menjadi waktu yang berlebih untuk tahuh setiap jengkal isi rumah.

Rumah itu sederhana dengan banyak pepohonan yang rindang, membuat rumah itu terlihat sangat nyaman untuk dihuni ketika sedang terik matahari. Rumah itu hangat ketika hujan lebat tak terbendung, dan rumah itu kokoh ketika angin topan menerpa. Tapi tidak ada kata lain selain BOBROK dalam pikiran Rosane tentang rumah itu. Semua yang ada dirumah itu palsu. Ada apa dengan orang – orang yang selalu berkata “Hey Rosane, betapa beruntungnya kau tinggal dirumah keluarga terpandang” atau “Hey Rosane beruntung sekali kau punya kerabat yang begitu bersahabat

Ya Tuhan! Jika aku memang seberuntung itu untuk apa aku mengeluh lagi dan lagi setiap hari? Mereka hanya tidak tahu apa yang harus aku kerjakan setiap hari hanya untuk sepotong roti kering.

“Roooss! Roossie!” Begitu Rosane dipanggil oleh anak laki – laki keluarga Natthan, Joe. Ya, Joe Natthan nama anak itu, anak tunggal dalam keluarga Natthan. Joan Natthan, paman Rosane, merupakan pria terpandang di kota itu. Pria yang banyak diandalkan oleh warga sekitar. Seorang pria terpandang.

Joe Natthan anak tunggal di keluarga Natthan, usia 21 tahun. Dia sedang menempuh studinya di satu – satunya sekolah bisnis di Kota Follance. Semenjak Rosane datang dan menjadi bagian dari keluarga Natthan, Joe selalu memperlakukan Rosane seenaknya, seolah segala pekerjaan bisa dilakukan Rosane dalam waktu singkat. Belum lama Rosane bangun dan mencoba mengumpulkan nyawa pagi itu, teriakkn Joe harus membuat Rosane tertatih – tatih keluar dari kamar. Ya memang, kamar Rosane dan Joe sangat dekat, hanya dibatasi lorong saja, bersebrangan.

“Apa Joe? Apa kau buta? Sekarang pukul 3 pagi! Bahkan kecoak pun masih sembunyi dibalik lemari bajumu” gerutu Rosane setelah membuka pintu kamar Joe. Dilihatnya buku yang berantakkan disetiap jengkal lantai kamar Joe. Ya, kamarnya penuh dengan buku. Maklumlah, anak kuliah katanya. Selain itu memang membacalah hobi dari Joe. Malam ini malam kesekian Joe begadang karan harus menyelesaikan tugas analisis pasar yang diberikan dosen paling menyebalkan di seantereo dunia, begitu Joe menyebutkan dosen ekonomi di kampusnya.

“Ros, aku butuh amunisi sekarang juga” pinta Joe denga nada ketus menghiraukan gerutu Rosane.

“Kau memintaku membuakan jus kesukaanmu itu di pagi buta seperti ini?”

“Hmm” hanya gumaman dan anggukan kepala yang menjadi jawaban Joe, ia tetap serius membaca jurnal yang susah payah dipinjamnya di perpustakaan kota.

“Ah Ya Tuhan Joe!” gerutu Rosane sambil berjalan menuju dapur. Tetap saja, Rosane menjadi gadis baik yang menuruti permintaan Joe dengan membuat jus pisang kesukaan pria itu.

to be continued

(Darwis) Tere Liye — (Untukmu)

11 Oktober 2013.

Jum’at. Tidak ada yang istimewa dengan jum’at. Seperti biasa, pagi hari menjadi guru bantu di Taman Kanak – kanak, sangat menyenangkan. Serius. Apalagi kalau ada anak macam ‘abang’ yang ternyata banci kamera, hahahha. Kapan – kapan aku cerita tentang guru bantu. Janji 🙂

Seharusnya hari itu pergi ke MCR (Mitra Citra Remaja) dan lanjut perjalanan ke kampus Jatinangor, untuk foto id card panita, salah satunya. Meski akhirnya rencana ke MCR gak jadi, karena urusan waktu. Jujur. Tujuan utama ke kampus Jatinangor untuk cari tahu, sebenernya Tere Liye itu perempuan atau laki – laki? Sumpah. Bahkan sampai sedetik sebelum Tere Liye masuk ke ruang utama auditorium Bale Santika, aku masih beranggapan bahwa dia perempuan berparas cantik, berambut panjang, dan pandai bermain musik (udah semacam Dewi Lestari ya?).

Dan! Ternyata waktu moderator panggil Tere Liye untuk masuk. Wah! Sunggu diluar dugaan. Kaget, serius. Pertama kali liat ‘Oh ini yang namanya Tere Liye’. Aku cuma bisa bergumam dalam hati. Malu juga nanti kalau orang kanan atau kiriku dengar, hahah.

Kupluk Abu. Kaos Panjang Putih. Celana. Kabel Headset (iphone – kayaknya) yang Menjulur. Sendal Jepit. Dan (bagian terpenting) Laki – Laki.

coretan kecil disela - sela talkshow menulis Darwis Tere Liye

coretan kecil disela – sela talkshow menulis Darwis Tere Liye

Kesan pertama : Ya ampun, ni abang satu selengean banget.

Terlepas dari itu semua, baru beberapa detik dia (Tere Liye) duduk, tahu hal pertama yang dilakukan? Menyapa moderator? Salah. Apa? Menyapa audiens? Salah juga. Yang dilaukan adalah marah – marah. Iya marah – marah. Marah sama panitia soal waktu yang molor, dia bilang ‘kalian keberatan gak kalau saya hanya berbicara 18 menit? Itu waktu yang tersisa’ sambil melihat pukul berapa saat itu, ya memang sih waktunya molor. Ya ampun! Belum beres kaget yang pertama karena tau faktanya bahwa dia laki – laki! Sekarang ditambah kaget yang kedua gegara dia marah – marah bahkan beberapa detik saja setelah dia duduk.

Kesan kedua : Gak bisa apa basa – basi dikit?

Waktu dia marah – marah. Aku cuma ketawa – tawa sendiri. Oke, kayaknya aku bakal betah denger dia bicara siang ini, meskipun cuma 18 menit. Malah aku penasaran, apa bener dia akan bicara hanya 18 menit. Hanya 18 menit. Aku tekankan lagi, 18 menit! Catet.

Untuk orang sekaliber Tere Liye. Buku yang dia tulis udah banyak. Karyanya yang diangkat ke layar lebar banyak digandrungi, bahkan layar TV pun dihiasi karyanya melalui sinetron. Aku penasaran, orang seperti apa dia. Orang seperti apa Tere Liye. Oh ya, sebelumnya aku mau jujur, aku belum pernah baca karya Tere Liye. Belum pernah. Sekali lagi aku bilang, aku belum pernah baca buku Tere Liye. Belum pernah. Aneh ya? Belum pernah satu kali pun baca apa yang ditulisnya tapi sekarang mau merepotkan diri jauh – jauh dari bandung ke Jatinangor untuk denger orang asing marah – marah dan bicara, aneh? Ya gak apa lah, toh akhirnya terbayar juga dengan segala ke’aneh’an yang ada sama Tere Liye. Lebih enak dibilang unik kali ya dari pada aneh, hahaha. Ya anggap lah mereka (kedua kata) itu sinonim 😀

Aku ingin tau lebih jauh tentang dia. Di toko buku banyak novel – novel yang di cover depannya jelas – jelas tertulis TERE LIYE. Penasaran juga apa artinya. Apalagi sama yang judulnya Negeri Para Bedebah. Aku ingin tahu, apa yang nulis buku ini juga seorang bedebah?hahaha.

Pembukaan sesi ini tidak berlama – lama, diawali oleh cerita tentang persahabatan. Antara pohon kelapa, kura – kura, dan burung. Tidak perlu merasa aneh dengan tiga sekawan ini, ini cuma cerita fabel penuh fiksi yang sarat nilai. Dari sini bang Darwis (begitu cara Tere Liye disapa) menyatakan bahwa dia pecinta fiksi, jadi tidak perlu teralu serius dengan apa yang diungkapkannya. Sayangnya yang serius itu lebih seru bang! Hahahahah.

Bagi bang Darwis :

Menulis seperti sebatang pohon kelapa di tepi pantai. Ya memang. Pohon kelapa tidak seperti burung yang terbang melintas menikmati keindahan panorama antar benua melalui langit dengan sayapnya. Juga, bukan seperti kura – kura yang menyelam menikmati indahnya taman laut antar samudera dengan berenangnya. Sebatang pohon hanya diam, berdiri dengan tegak sehari –hari hanya menikmati indahnya sunrise dan sunset itu pun jika awan sedan bersahabat tidak menghalangi.

Tapi, sebatang pohon kelapa yang membiarkan jatuh buahnya, membiarkan buahnya diterpa ombak, membiarkan buahnya melintasi samudera dan antar benua, dan bermuara disembarang pesisir pantai dan menjadi awal bagi pohon – pohon kelapa lain di setiap pertemuan antara daratan dan lautan.

Menulis seperti sebatang pohon kelapa di pesisir pantai yang membawa kebaikan dengan tetap diam di tempat.

Seselesainya mendengar bang Darwis berbagi aku jadi tahu modal menulis yang perlu dilakukan adalah mencoba menulis 🙂

Bang Darwis berbagi, dan melalui tulisan ini aku juga mau berbagi apa yang aku dapat dari dia. Mau jadi penulis yang baik? Mudah aja kok.

Didasari oleh alasan apa yang membuat mengapa kita harus menulis. Kenapa aku harus nulis? Alasan menulis akan menjadi penting untuk kedepannya.

Pertama. Topik tulisan bisa apa saja, penulis yang baik bisa menemukan sudut pandang yang spesial (atas tulisan yang dia tulis). Cukup dengan memikirkan apa yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Ya, aku paham. Memang berpikir spesial tidak mudah, maka dari itu perlu latihan (tulisan ini salah satu proses latihan). Perlu dicatat bahwa berpikir spesial tidak perlu dan tidak harus megah atau besar cukup dengan sederahan dan apa adanya.

Kedua. Menulis itu membutuhkan amunisi. Amunisi disini bukan semacam peluru dengan kecepatan tinggi kok. Amunisi ini sangat mudah didapat. Cukup dengan mencoba lebih banyak untuk mengamati, lebih banyak untuk membaca, lebih banyak untuk mendengar, lebih banyak untuk memperhatikan, juga lebih banyak untuk merekonstruksi.

Ketiga. Ala karena terbiasa. Sebenarnya aku masih belum terlalu paham dengan penggunaan kata ‘ala’ bang Darwis di kalimat ini. Penjelasannya menulis adaah pekerjaan yang membiasakan diri. Menulis perlu didasari oleh rasa cinta yang dalam. Romantis ya, bahkan menulis pun perlu rasa cinta, hihihi.

Keempat. Gaya bahasa adalah kebiasaan, memulai kalimat pertama adalah hal mudah, menyelesaikannya lebih gampang lagi. Nah ini nih, bener – bener emang. Oke, masalah gaya bahasa itu masalah personal, setiap dari kita punya gaya dan cara masing – masing dalam berbahasa. Aku setuju dengan itu. Sangat setuju.

Tapi masalah bahwa ‘memulai kalimat pertama adalah hal mudah’. Ya Tuhan, bang! Sungguh kadang ketika aku bingung harus menulis darimana, akhirnya aku meninggalkan kegiatan menulis. Aku tahu ini salah. Ya, ya baiklah seharusnya aku biarkan saja kata apapun menjadi kalimat pertamaku, tidak perlu kalimat yang canggih, cukup dengan kalimat yang sederhana dan jujur.

Lagi, ada masalah lagi di poin keempat. Bang Darwis bilang bahwa ‘menyelesaikannya lebih gampang lagi’. Ingin sekali rasanya bilang, ‘Hey bang! Abang sudah punya banyak buku yang dicetak beberapa diantaranya bahkan masuk ke layar lebar dan sinetron, bahkan ada yang sudah dicetak  berkali – kali. Lah aku? Tulisan ku posting di blog saja rasanya sudah cukup hebat’. Sebelum semakin lama aku merutuk dalam hati bang Darwis dengan hati senang berbagi penjelasan tentang hal ini.

Berhentilah berpikir serius untuk mengakhiri tulisan yang sudah dimulai. Kalau bingung tulisan gak selesai, bingung bagaimana mengakhirinya, mudah saja tinggal ‘enter enter enter dan tuliskan kata TAMAT’ Tada! Selesai sudah tulisan yang dibuat. Yaaa, bener juga sih hahaha. Sekali lagi aku ingatkan, bang Darwis ini pecinta fiksi, jadi kalau ditanya ‘kok gitu bang?’ paling jawabannya ‘yaa, kenapa memang? Berhentilah berpikir serius untuk mengakhiri tulisan’.

Lima. Mood jelek adalah anugerah. Mood yang selalu jelek adalah masalah. Inget kenapa bang Darwis bilang kita harus punya alasan untuk menulis? Nah, ini alasalannya ketika datang mood yang jelek maka panggil alasan kita menulis, jadikan itu motivasi terdalam kita untuk tetap menulis. Yakinlah bahwa semua orang bisa mendapatkan pertolongan yang menakjubkan dari hati mereka sendiri. Ketuk hatimu tiga kali dan temukan motivasi terdalammu dalam hati.

Nah, itu tadi yang aku dapat selama duduk di kursi Bale Santika dan tahu tidak? Ternyata perihal 18 menit itu hanya gertakan, hihih. Bang Darwis terlalu baik hati melihat kami yang antusias mendengar, tidak tega sepertinya melihat wajah – wajah memelas kami jika hanya 18 menit berbicara.

Sebelum selesai bang Darwis masih menyempatkan diri berbagi dengan kami. Ditekankan lagi olehnya bahwa menjadi pemerhati yang baik adalah kunci untuk bertumbuh dan menjadi besar. Aku bisa paham ini setelah selesai membaca buku Negeri Pada Bedebah. Woah! Sungguh luar biasa isinya! Kau tahu? tidak sampai satu hari aku melumat novel itu, dan tahu tidak? Ratusan halaman dalam buku itu hanya menceritakan 4 hari dari kehidupan Thomas. Empat hari! Ya Tuhan, empat hari! Jum’at di London, Sabtu pagi buta dikediaman om Liem, Sabtu siang di Jogjakarta, Minggu pagi di Jakarta, Minggu sore di Denpassar, Bali, bahkan disela – sela hiruk pikuknya itu Thomas masih sempat berkeliaran ke Jatiluhur dan kepulauan Seribu. Sungguh cemerlang Darwis Tere Liye. Satu hal, gaya bahasanya membuat aku ketagihan, hahaha. Sepertinya aku ingin membahas buku Negeri Pada Bedabah, tunggu ya! Aku akan tulis tentang novel pertama Tere Liye yang aku baca. Pilihan yang tepat bukan? 🙂

Dan ternyata! Dibalik semua kesan yang ditampilkan bang Darwis dengan segala ‘keselengeannya’, ‘tidak suka basa – basinya’, dan dengan segala ‘keunikannya’, aku belajar satu hal, karena itulah dia menjadi besar. Karena dia selalu tetap menjadi dia dimana pun berada, itu yang membuat dia kokoh berdiri diatas kakinya sendiri, dan diakui dengan tetap menjadi dirinya baik oleh kawan ataupun lawan. Gak nyesel deh jauh – jauh datang ke Bale Santika.

Ohya ada lagi!

Bang Darwis mewanti – wanti kami, yang duduk di bangku audiens. Dia bilang ‘kalian tahu tidak hobi yang menyenangkan itu apa?’. Ya bang, tentu saja kami tahu, hobi yang menyenangkan itu hobi yang bisa menghasilkan uang. Sekenaku jawab dalam hati. Ternyata bukan kearah itu, hahha. Bang Darwis bilang, hobi yang menyenangkan itu ada bukan karena dipaksa atau terpaksa. Ketika kau bilang dengan lugas ‘Hobiku menulis’ coba tengok lagi, jika ketika kamu menulis itu terpaksa atau dipaksa maka Bang Darwis bilang ‘Hey, nampaknya menulis bukan hobi yang menyenangkan untukmu’. Nah tuh, jadi hobi yang menyenangkan untukmu apa?

Ada pesan tambahan lagi, kalau menulis Mr. S (baca : Skripsi) memang terkadang ada unsur dipaksa dan terpaksa,hahah. Tapi ya sudah, begitulah cara skripsi tetap harus diselesaikan meskipun kadang dipaksa dan terpaksa.

Adios! Semoga ada manfaat dalam tulisan ini. Kutipan terakhir dari Bang Darwis ‘menulis adalah persisi seperti menebar kebaikan!’ 🙂